Minggu, 08 Mei 2011

Analisis Novel Bunga Roos dari Cikembang

“Nyai” yang Tetap “Nyai” dalam Novel Bunga Roos Dari Cikembang
Banyak analisa menyatakan bahwa Kwee Tek Hoay atau yang biasa disingkat dengan sebutan KTH mengangkat derajat pernyaian dalam novelnya Bunga Roos Dari Cikembang. Namun agaknya pemikiran saya kali ini bisa menjadi bahan pertimbangan untuk tidak terburu-buru mengiakan analisa sebelumnya.
Dalam Bunga Roos Dari Cikembang Kwee Tek Hoay membangun cerita pernyaian dari tokoh yang dinamakan Marsiti. Saat menggambarkan tokoh Marsiti, KTH menghanyutkan pembaca dalam pemikiran bahwa Marsiti adalah gundik Ay Tjeng, yang sangat mencintai Ay Tjeng, dan merupakan seorang wanita cantik dengan latar belakang  sunda tulen. Pemikiran ini terus berlanjut sampai ketika ayah Gwat Nio (istri Ay Tjeng) yang bernama Keng Djim sakit keras dan menceritakan sebuah rahasia, bahwa sebenarnya Marsiti adalah anaknya yang tak lain adalah kakak dari Gwat Nio hasil dari perkawinannya dengan seorang gundik bernama Mina (hlm. 335)
Fakta dalam karya tersebut tidak spontan menyadarkan pembaca bahwa Marsiti sebenarnya adalah hasil kawin campur, dengan begitu Marsiti bukan seorang wanita pribumi asli yang ingin diangkat derajatnya oleh KTH seperti yang banyak orang katakan dalam analisisnya. Karena dalam darah Marsiti ada darah Tionghoa dari Keng Djim.
Ketika sudah jelas silsilah keturunan Marsiti, lalu siapa yang sebenarnya diangkat derajatnya oleh KTH? Yang disebut-sebut secara mistis sebagai malaikat penolong (hlm. 424). Tentu saja bukan nyai yang nota benenya  seorang pribumi. Sekalipun Marsiti adalah seorang pribumi asli, tetap saja KTH tidak secara ikhlas mengangkat derajat seorang nyai. Karena dalam cerita BRDC ini Marsiti sendiri memperlakukan dirinya sebagai pelayan setia Ay Tjeng, dan Marsiti juga merasa dirinya kerdil dibanding Gwat Nio yang keturunan Tionghoa. Dengan begitu seperti konsep stimulus-respon, Marsiti yang memperlakukan dirinya seperti pelayan mendapatkan respon yang sama juga dari Ay Tjeng, yaitu memperlakukan Marsiti seperti pelayan dan pengatur kehidupannya. Perlakuan seperti ini sama seperti apa yang didapatkan nyai-nyai  biasa dalam kehidupan rumah tangganya.
KTH sangat cerdas mematikan tokoh Marsiti dalam cerita ini, bayangkan saja bila Marsiti hidup, belum tentu puji-pujian kepada Marsiti terlontar secara tersurat dalam novel ini. Karena jika Marsiti hidup, dia akan tetap menjadi pemeran utama protagonis yang perasaannya harus didahulukan oleh Ay Tjeng daripada Gwat Nio. Karena, apabila Ay Tjeng lebih memilih Gwat Nio saat Marsiti masih hidup, tentu akan membuat keruh citra Tionghoa. Sedangkan jika KTH mempertahankan Marsiti, pastinya ia sangat berberat hati untuk melakukan hal tersebut kepada sesama Tionghoa.
Tindakan kolonialisme KTH tidak berhenti sampai nyai Marsiti. Ia melanjutkannya kepada Roosminah, anak hasil perkawinan Marsiti dengan Ay Tjeng. Roosminah yang menjadi kunci dalam novel ini dijadikan patung hidup oleh keluarga Bian Koen dan keluarga Ay Tjeng. Hal ini secara jelas dipaparkan KTH dalam subjudulnya pada BAB XIV. 
Dari kasus pembunuhan karakter Roosminah dan hidupnya karakter Lily, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa KTH secara tegas ingin membinasakan nasib tokohnya yang memiliki setengah darah pribumi. Tokoh dengan setengah darah pribumi hidup untuk mengabdi kepada Tionghoa, hidup untuk menjadi korban bagi kebahagiaan Tionghoa, dan hidup untuk dimatikan secara baik-baik untuk menghindar protes pembaca dari kaum pribumi.
Selain itu ada pula tokoh penting dalam pembinasaan karakter setengah darah pribumi ini, yaitu Tirta. Bisa dikatakan bahwa Tirta adalah satu-satunya tokoh primbumi asli dalam novel ini. Namun kehadirannya hanya membuat spekulasi yang buruk dari seorang pribumi. Ia digambarkan sebagai seorang yang sangat patuh pada keluarga Ay Tjeng dan ia juga merupakan tokoh yang memberi izin kepada keluarga Tionghoa membunuh karakter Roosminah. Karena, ketika Marsiti meninggal, Tirta diamanatkan untuk menjaga Roos dan tidak memberikan Roos kepada lelaki sembarangan. Namun apa yang terjadi? Tirta dengan senang hati memberikan Roosminah kepada keluarga Bian Koen untuk dirubah menjadi Lily. Saat hal itu terjadi Roosminah hanya menjadi tokoh yang sangat penurut, bahkan dalam BRDC tokoh Roos ini tidak memiliki hak suara sama sekali.
Maka jelaslah sudah, bahwa KTH sama sekali tidak mengangkat pernyaian dalam novelnya yang berjudul Bunga Roos dari Cikembang, KTH justru mengukuhkan dirinya yang seorang Tionghoa dengan membuat setiap tokoh yang memiliki darah pribumi menjadi tokoh yang rendah dan tersingkirkan. KTH membuat pesan secara tersirat bahwa seorang pribumi sudah sepantasnya menjadi golongan rendah yang hidup untuk melayani Tionghoa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar