Minggu, 08 Mei 2011

Analisis Novel Salah Asuhan


Kematian Zaman Balai Pustaka dalam Salah Asuhan
Balai pustaka adalah lembaga bahasa yang didirikan oleh Belanda sebagai lembaga penerbitan. Jenis sastra yang utama pada Angkatan Balai Pustaka adalah roman dengan permasalahan kawin paksa, permaduan, pertentangan paham antara kaum muda dan kaum  tua, dan berlatar daerah. Salah satu karya prosa yang terkenal dari angkatan ini adalah novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, seorang sastrawan asal Sumatra Barat yang lahir pada 3 Juni 1883.
Sebenarnya novel Salah Asuhan memiliki tema yang tidak jauh berbeda dengan novel lain yang berkembang pada masa itu, yaitu tentang permasalahan kawin paksa. Namun Abdoel Moeis mengisi cerita kawin paksa ini secara tidak biasa. Yaitu dengan menyuguhkan percintaan seorang lelaki pribumi dan gadis Eropa. Itulah sebabnya novel yang dibuata pada tahun 1927 ini  membuat nama Abdoel moeis melejit menjadi pengarang yang terkenal di zamannya
Sebagai penerbit, Belanda memiliki hukum sensor dalam menerbitkan sebuah karya sastra. Hal ini dilakukan guna menetralisir bacaan liar yang marak terjadi dengan isi pemberontakan. Perlu diketahui, bahwa novel Salah Asuhan yang beredar saat ini bukanlah novel Salah Asuhan yang pertama dibuat oleh Abdoel Moeis. Dalam Salah Asuhan sebelumnya, tokoh Corrie digambarkan sebagai wanita yang tidak baik prilakunya. Melihat hal tersebut Balai Pustaka tidak mengizinkan karya ini terbit, karena dianggap dapat merusak citra Belanda. Lalu bagaimana karya ini bisa tetap terbit?
Ya, Abdoel Moeis tentu merubah tokoh Corrie menjadi wanita dengan kepribadian yang baik, mudah bergaul, dan terpelajar. Dalam novel ini pun digambarkan betapa sulit dan tidak bahagianya hidup sepasang  kekasih yang berbeda derajatnya itu. Ini tentu sangat disukai Balai Pustaka, mengingat saat itu Belanda mendidik pribumi bukan karena ingin derajatnya disamakan, melainkan hanya untuk dipekerjakan di level yang rendah dengan upah yang murah.
Setelah menunjukan kehegemonian budaya barat dalam tokoh Hanafi, Abdoel Moeis pun memenangkan adat kawin campur yang sangat menyiksa batin Hanafi. Selanjutnya diberikanlah potret kemungkinan kedua, yaitu persatuan tokoh Corrie dengan Hanafi, yang ternyata hasilnya tidak jauh berbeda dengan perkawinan sebelumnya, yaitu melahirkan duka dan sengsara dikedua belah pihak. Kesengsaraan ini dipertegas lagi dengan kematian Hanafi yang meninggal karena meminum racun dan Corrie dengan sakit koleranya.
Ending berupa kematian Hanafi dan kematian Corrie ini merupakan kematian buatan Balai Pustaka. Dimana tokoh Hanafi dibuat meninggal tidak terhormat, yaitu dengan meminum racun dan Corrie yang dibuat meninggal dalam posisi “bersih” yaitu karena sakit kolera. Cara meninggal yang tragis ini dibuat bukan untuk membuat pembaca iba atau kasihan kepada perjuangan tokoh Hanafi yang sudah matia-matian ingin menjadi seorang Belanda. Tapi sengaja dibuat untuk menimbulkan peringatan agar tidak ada pribumi yang mencoba menjadi “sama” dengan Belanda.
Dari awal, novel Salah Asuhan ini menegaskan bahwa tidaklah mungkin seorang Hanafi (pribumi) bisa sama derajatnya dengan bangsa Belanda. Meski setinggi apapun ia bersekolah, secerdas apapun dia sebagai pribumi, ia tetap seorang yang hidup dibawah ketiak bangsa Belanda. Bagi siapapun yang melawan atau sekedar mencoba menyamakan derajatnya dengan Belanda, pada akhirnya ia hanya akan menemui kesengsaraan belaka.
Namun sebenarnya, apa yang terjadi pada Hanafi bukan hanya membuat peringatan tentang kesetaraan derajat. Novel ini bahkan telah memberikan arahan, bahwa seorang pribumi sebaiknya bangga akan apa yang menjadi ciri khas bangsanya, sikap Hanafi yang sangat ambisius menjadi seorang Belanda adalah penjajahan dirinya sendiri oleh keinginannya.
Jika dilihat lebih jauh, kematian Hanafi bisa menjadi tolok ukur bahwa seorang Indonesia sudah sepatutnya bangga akan jati dirinya. Jika kita selalu bangga dan menerima arus kebarat-baratan dengan tangan yang lapang, tanpa datangnya bangsa barat ke Indonesia, Indonesia sudah bisa mati karena masyarakatnya sendiri. Karena penjajahan dalam hati seorang warga negara lebih mematikan dari penjajah bangsa manapun.
Begitulah strategi Abdoel Moeis dalam bercerita. Izin dari Balai Pustaka di dapat pemikiranpun tersirat. Adalah suatu hal yang wajar apabila Ajip Rosidi berpendapat bahwa Roman ini adalah roman yeng terpenting diantara sekian terbitan Balai Pustaka tahun 1920-an.[1]


[1] Yudiono K. S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. (Jakarta: Grasindo, 2007). Hlm. 106.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar